Indonesia adalah penghasil gas alam cair (LNG) terbesar di dunia
Gas Alam di Indonesia
Produksi dan Konsumsi Gas di Indonesia
Indonesia memiki cadangan gas alam yang
besar. Saat ini, negara ini memiliki cadangan gas terbesar ketiga di
wilayah Asia Pasifik (setelah Australia dan Republik Rakyat Tiongkok),
berkontribusi untuk 1,5% dari total cadangan gas dunia (BP Statistical
Review of World Energy 2015).
Kebanyakan pusat-pusat produksi gas Indonesia berlokasi di lepas pantai. Yang paling besar di antaranya adalah:
1. Arun, Aceh (Sumatra)
2. Bontang (Kalimantan Timur)
3. Tangguh (Papua)
4. Pulau Natuna
1. Arun, Aceh (Sumatra)
2. Bontang (Kalimantan Timur)
3. Tangguh (Papua)
4. Pulau Natuna
Indonesia memproduksi sekitar dua kali
lipat dari gas alam yang dikonsumsinya. Kendati begitu, ini tidak
berarti bahwa produksi gas domestik memenuhi permintaan gas domestik.
Bahkan, ada kekurangan gas untuk industri-industri domestik di
Indonesia.
(PGN) belum mampu memenuhi permintaan domestik. Ini memiliki
dampak-dampak yang memiliki cakupan luas karena hal ini menyebabkan (PLN), konsumen gas domestik terbesar, mengalami kekurangan struktural
suplai gas dan memaksa PLN untuk beralih ke bahan-bahan bakar fosil -
yang lebih mahal dan tidak ramah lingkungan - yang lain, seperti minyak
bumi, untuk menghasilkan listrik. Meskipun begitu, pemadaman listrik
sering terjadi di seluruh negeri (terutama di luar kota-kota besar Pulau
Jawa), dan karenanya membebani industri-industri negara ini. Terlebih
lagi, hampir 80 juta penduduk Indonesia belum memiliki akses listrik
seperti yang ditunjukkan oleh persentase kelistrikan Indonesia yang
relatif rendah pada 84,1% di 2014.
Pemerintah Indonesia bertujuan untuk
membatasi ekspor gas negara ini dalam rangka mengamankan suplai domestik
sambil mendorong penggunaan gas alam sebagai sumber bahan bakar untuk
konsumsi industri dan personal.
Sebagian besar hasil produksi gas
diekspor karena produksi gas negara ini didominasi oleh
perusahaan-perusahaan asing yang hanya bersedia untuk berinvestasi bila
diizinkan mengekspor komoditi ini. Saat ini, perusahaan-perusahaan
asing, seperti CNOOC Limited, Total E&P Indonesia, Conoco Philips,
BP Tangguh, dan Exxon Mobil Oil Indonesia, berkontribusi untuk sekitar
87% dari produksi gas alam Indonesia. Sisa 13% diproduksi oleh Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) Pertamina. Sekitar setengah dari total hasil produksi gas dijual secara domestik.
Tabel di bawah mengindikasikan baik produksi maupun konsumsi gas di Indonesia selama satu dekade terakhir.
Produksi dan Konsumsi Gas di Indonesia 2006-2015:2006 | 2007 | 2008 | 2009 | 2010 | 2011 | 2012 | 2013 | 2014 | 2015 | |
Produksi dalam milyar m³ |
74.3 | 71.5 | 73.7 | 76.9 | 85.7 | 81.5 | 77.1 | 72.1 | 73.4 | 75.0 |
Konsumsi dalam milyar m³ |
36.6 | 34.1 | 39.1 | 41.5 | 43.4 | 42.1 | 42.2 | 36.5 | 38.4 | 39.7 |
Seperti yang ditunjukkan di tabel di atas - dan kontras dengan produksi minyak nasional
- produksi gas di Indonesia tetap stabil, mencatat rekor tinggi di 2010
karena awal produksi Ladang Tangguh (berlokasi di Papua) di tahun yang
sama (dimanajemen oleh BP Indonesia) yang merupakan sebuah ladang
penting dalam industri gas negara ini. Setelah 2010, produksi gas telah
menurun karena masalah-masalah suplai.
Meskipun sejumlah perusahaan-perusahaan
kecil aktif di sektor gas Indonesia, sebagian besar dari produksi dan
eksplorasi domestik berada di tangan enam perusahaan yang telah
disebutkan, yang hanya satu yang dimiliki Indonesia (Pertamina).
Bila dikombinasikan, CNOOC Ltd. dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan
Pertamina berkontribusi untuk lebih dari setengah produksi gas
Indonesia.
Kebutuhan Gas Bumi untuk Industri Indonesia:Industri | 2015 | 2020F |
Pupuk | 791.22 | 1,028.22 |
Petrokimia | 295.00 | 708.00 |
Keramik | 133,95 | 134.68 |
Baja | 80.00 | 120.00 |
Glassware | 28.38 | 28.60 |
Kaca | 81.19 | 81.19 |
Semen | 9.00 | 10.00 |
Sarung Tangan Karet | 4.67 | 4.70 |
Sumber: Forum Industri Pengguna Gas Bumi
Ekspor Gas Indonesia
Sepanjang sejarahnya, produksi gas
Indonesia selalu ditujukan untuk pasar ekspor. Kendati begitu, penurunan
produksi minyak domestik dikombinasikan dengan peningkatan harga minyak
internasional, membuat Pemerintah memutuskan untuk melakukan
usaha-usaha untuk memperbesar penggunaan gas domestik dari pertengahan
2000an sampai saat ini. Di beberapa tahun terakhir penggunaan gas telah
meningkat dengan subur dan menurunkan ekspor namun fasilitas-fasilitas
infrastruktur yang terbatas dalam jaringan transmisi dan distribusi
Indonesia memperumit perkembangan lebih lanjut dari konsumsi domestik. Infrastruktur layak yang terbatas
ikut disebabkan karena kurangnya investasi namun juga karena kondisi
geografis negara ini. Distribusi dengan tanker lebih mudah dibandingkan
jaringan pipa karena cadangan-cadangan gas alam yang penting berlokasi
di lepas pantai, jauh dari pusat-pusat permintaan gas yang besar.
Setelah Qatar, Malaysia dan Australia,
Indonesia saat ini adalah eksportir gas alam cair (liquefied natural
gas/LNG) terbesar keempat di dunia. Hal ini tidak berarti - seperti yang
disebutkan di atas - bahwa permintaan domestik dapat dipenuhi oleh
produksi domestik. Akibatnya, Indonesia perlu mengimpor LNG dari luar
negeri supaya tidak menganggu komitmen ekspor. Diperkirakan bahwa pada
tahun 2017 suplai-suplai tambahan dari ladang-ladang gas baru Indonesia
akan dapat menggantikan impor.
Indonesia, sebelumnya eksportir LNG
terbesar, mengalami penurunan pangsa pasar LNG global, sebagian karena
reorientasi kebijakan Pemerintah Indoensia di pertengahan2000an yang
menargetkan lebih banyak suplai gas untuk pasar domestik dalam konteks
meningkatkan penggunaan gas sebagai sebuah sumber energi (dengan
mengurangi ketergantungan terhadap minyak). Namun, penurunan ini juga
terjadi karena kurangnya investasi jangka panjang baik dalam eksplorasi
maupun pengembangan ladang-ladang gas negara ini.
Pada akhir tahun 2014, Indonesian
Petroleum Association (IPA) menyatakan bahwa lembaga ini memprediksi
investasi (untuk eksplorasi) dalam sektor gas Indonesia akan turun 20%
di 2015 (terutama karena rendahnya harga-harga energi). Selain itu, di
akhir tahun 2014, Chevron Pacific Indonesia (anak perusahaan dari
raksasa minyak dan gas yang bermarkas di Amerika Serikat Chevron Corp)
menunda proyek Indonesia Deepwater Development (IDD) senilai 12 miliar
dollar Amerika Serikat di Selat Makasar di Kalimantan Selatan karena
isu-isu perizinan dan karena perusahaan ini membutuhkan lebih banyak
waktu untuk merevisi perhitungan setelah penemuan cadangan-cadangan gas
baru.
Sejumlah kontrak ekspor jangka panjang
yang ditandatangani di awal dan pertengahan 2000-an dihargai di bawah
harga pasar, berarti Indonesia kehilangan pendapatan berjumlah
signifikan. Daripada menghubungkan tingkat kontrak dengan harga pasar
gas yang berfluktuasi, sebuah harga tetap disetujui yang kemudian segera
menjadi tidak sesuai lagi karena harga pasar (yang naik). Pemerintah
Indonesia telah berusaha merenegosiasi kontrak-kontrak jangka panjang
tersebut dalam rangka mendapatkan lebih banyak keuntungan finansial.
Kendati begitu, dari perspektif para pelaku bisnis jelas niat
merenegosiasi kontrak bukanlah pilihan yang terbaik (karena menyebabkan
ketidakpastian mengenai komitmen Pemerintah Indonesia untuk menghormati
kontrak yang telah ditandatangani). Tujuan-tujuan ekspor LNG utama
Indoneisa adalah Jepang, Korea Selatan dan Taiwan.
Proyeksi Masa Mendatang untuk Sektor Gas Indonesia
Perekonomian Indonesia yang berekspansi
dikombinasikan dengan niat Pemerintah untuk menurunkan ketergantungan
pada minyak sebagai sumber suplai energi dalam industri-industri,
pembangkit listrik dan transportasi akan menyebabkan permintaan domestik
untuk gas untuk meningkat di masa mendatang. Negara ini memiliki
cadangan gas berlimpah yang dapat mensuplai Indonesia dan juga pasar
ekspor luar negeri untuk banyak dekade di masa mendatang. Namun, dalam
rangka mencapai sektor gas yang efisien dan produktif, investasi skala
besar baik dalam eksplorasi maupun infrastruktur (distribusional) akan
dibutuhkan. Dalam rangka menarik lebih banyak investasi asing, sistem
peraturan dan kerangka hukum yang jelas dan mendukung dibutuhkan.
Pada akhir 2015 I Gusti Nyoman
Wiratmaja, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi dari Kementerian Energi
dan Sumber Daya Mineral, mengatakan bahwa Indonesia membutuhkan
investasi bernilai lebih dari 32 miliar dollar Amerika Serikat
(kebanyakan dari sektor swasta) untuk penyulingan-penyulingan gas alam,
dan infrastruktur yang berhubungan dengan gas dalam rangka memenuhi
permintaan gas domestik pada 2025 (terutama untuk pembangkit-pembangkit
listrik dan pabrik-pabrik pupuk). Permintaan gas Indonesia diperkirakan
untuk naik dari 6,102 juta standar kaki kubik per hari (million standard cubic feet per day/mmscfd)
di 2015 menjadi 8,854 mmscfd di 2025 dengan permintaan yang sebagian
besar berasal dari Pulau Jawa dan Bali. Tanpa memberikan detail-detail
yang jelas, Wiratmaja menambahkan bahwa ada insentif-insentif untuk
sektor swasta yang berinvestasi dalam industri gas domestik.
sumber :http://www.indonesia-investments.com/id/bisnis/komoditas/gas-alam/item184